Kampoeng Banyumili, Resto Nuansa Sunda di Jawa

- Minggu, 28 November 2021 | 18:58 WIB
KAMPOENG Banyumili di di Desa Gedangan, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, di perbatasan dengan Kota Salatiga, sebuah resto yang bernuansa Sunda (Dok)
KAMPOENG Banyumili di di Desa Gedangan, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, di perbatasan dengan Kota Salatiga, sebuah resto yang bernuansa Sunda (Dok)

ANDA sedang atau lama di Jawa Tengah dan ingin merasakan lagi nuansa Sunda tanpa harus pulang dulu ke tanah Sunda? Datanglah ke Kampoeng Banyumili.

Kampoeng Banyumili terletak di Desa Gedangan, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Desa Gedangan berbatasan langsung dengan Kota Salatiga

Kampoeng Banyumili mirip dengan resto-resto di Tatar Sunda, terutama yang berada di pinggir kota. Saung-saungnya didirikan di pinggir kolam, serta langsung menghadap pesawahan.

Air terdengar bergemericik. Ditambah lagi, meski perumahan di sekitarnya cukup padat, udaranya yang sejuk karena tak jauh dari Gunung Merbabu dan perbukitan di sekelilingnya.

Baca Juga: Berada di pegunungan Bukit Samida Rajadesa Ciamis, Wisata Alam dan Wisata Budaya

“Ide-ide yang diwujudkan di Banyumili banyak terinspirasi dari Bandung dan Bogor,” ujar Atika Arisanti, pemilik Kampoeng Banyumili.

Terinspirasi dari Bandung dan Bogor? Kok bisa? “Saya lama tinggal di Bandung dan di Bogor, jadi banyak pengaruh Sunda di diri saya walau teu tiasa bicara dalam bahasa Sunda, sesah,” kata Atika lagi.

Selepas SMA tahun 1993, Atika mengembara ke Bandung. “Saya diterima di Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) unpad bandung, ngambil jurusan Public Relation (PR),” ujarnya.

Di Bandung Atika bertemu pendamping calon hidupnya, sama-sama orang Salatiga, yang kuliah di ITB di jurusan teknik kimia angkatan 1989.

Setahun setelah lulus, Oktober 1999 Atikah menikah dan diboyong suaminya ke Kota Bogor yang bekerja di Kota Hujan tersebut.

Beberapa lama tinggal di Sentul City, suaminya, Dwi Sutoro. memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya karena mendapat pekerjaan di sebuah perusaahan di Salatiga.

Atika pun pulang kampung. Keadaan tempat tinggalnya, di Desa Gedangan tidak jauh berbeda dengan di Priangan: banyak air yang mengalir, sawah, perbukitan, bahkan bisa disebutkan berada di lereng gunung, Gunung Merbabu.

“Dari situlah timbul ide untuk membuat resto yang bernuansa alam,” kata Atika.

Resto yang dia dirikan dinamai Kampoeng Banyumili. “Kampung bisa diartikan kawasan, banyu artinya air, mili artinya mengalir,” turut Atika.

Halaman:

Editor: Nanang Supriatna

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Pusat Kuliner itu Bernama Stasion Cipeundeuy

Rabu, 21 Desember 2022 | 14:07 WIB

Mengenal Kelas Kereta Api dan Perbedaannya

Selasa, 13 Desember 2022 | 18:23 WIB

Naik Kereta Api Ekonomi, Bersiaplah Adu Dengkul

Rabu, 7 Desember 2022 | 16:00 WIB

Wisata Kuliner Tengah Malam di Plered

Rabu, 16 November 2022 | 06:00 WIB

Desa Wisata Bukan Sekedar Urusan Sekedar Eksotisnya

Minggu, 30 Januari 2022 | 17:30 WIB

Terpopuler

X