Kutukan Sumber Daya Alam dan Orang Sunda

- Rabu, 24 November 2021 | 14:29 WIB
SAUNG di Tatar Sunda. Tatar Sunda yang subur makmur,  sungai banyak, air melimpah, perlu dijaga kelestariannya. (Nanang)
SAUNG di Tatar Sunda. Tatar Sunda yang subur makmur, sungai banyak, air melimpah, perlu dijaga kelestariannya. (Nanang)

jabaribernews.com -Iistilah kutukan sumber daya alam dipakai oleh para ekonom Barat kepada negara-negara yang sumber daya alam (SDA)-nya melimpah, seperti minyak, gas, barang tambang, hutan, tetapi tidak bisa membuat rakyatnya terus-menerus sejahtera. Malah hasil dari kekayaan SDA kebanyakan hanya dinikmati segelintir orang.

Hasil eksploitasi SDA tidak diinvestasikan untuk membangun sumber-sumber pendapatan yang baru dan berkelanjutan sebagai pengganti SDA jika sudah tidak dapat diandalkan untuk menopang perekonomian negara. Hanya digunakan untuk kepentingan sesaat atau konsumtif yang sama sekali tidak bisa menolong perekonomian masa depan.

Lebih parahnya lagi, masyarakat yang terlalu menggantungkan hidupnya kepada kekayaan alam tidak mempunyai daya juang yang tinggi, lamban, malas bekerja keras, malas berpikir, dan tidak menyadari ancaman yang menghadangnya. Masarakat telah dininabobokan oléh SDA: Kenapa harus repot-repot, toh segalanya sudah disediakan oleh alam.

Bila SDA-nya benar-benar habis, masyarakat, juga pemerintahnya, bingung bagaimana mencari pendapatan dari sumber yang lain. Kalaupun diperbuat, antisipasi di saat kritis sudah sangat telat. Jatuhlah perekonomian dan akhirnya mengandalkan belas kasihan lembaga atau negara donor. Maka SDA yang tadinya berkah menjadi malapetaka.
*
ORANG Sunda adalah suku bangsa di negara kita yang paling beruntung. Selain alamnya indah, sehingga ada yang menyebutkan Tuhan menciptakan Priangan ketika Dia sedang tersenyum, juga kekayaannya melimpah. Semua keperluan hidup orang Sunda sudah disediakan oleh alam. Tidak perlu bersusah payah mendapatkannya.

Orang-orang tua sering bercerita, dulu tanpa mempunyai kolam pun, kita bisa makan ikan setiap hari. Di sungai banyak ikannya, sumber protein yang lain di solokan, sungai kecil, haremis tinggal memunguti, tutut dan belut di sawah melimpah. Sayur-sayuran tersedia, tinggal pergi ke kebun atau ke hutan, di sisi sawah juga banyak.

Air? Bukan masalah. Tidaklah aneh jika muncul kalimat caina cu-cor harérang, air bening di mana-mana menggelontor. Menangkap ikan pun, di kolam, di sungai, tidak menyebabkan airnya keruh, sehingga lahirlah peribahasa laukna beunang caina hérang. Di musim kemarau, cinyusu, mata air, tidak pernah kering, hanya berkurang sedikit.

Untuk membuat bangunan atau rumah tidak sulit, tidak perlu mengeluarkan uang banyak. Pohon kayu, bambu, kari daék nuarna, asal mau menebangnya, baik di kebun atau di hutan. Orang Sunda benar-benar disayang Tuhan, alam yang diciptakan Tuhan mempermudah orang Sunda untuk menjalani kehidupan.

Karena terlalu dimanja oleh alam itulah, orang Sunda jadi terlena, henteu eungeuh, tidak menyadari, ancaman yang menghadangnya, baik dari dalam Sunda sendiri maupun dari luar Sunda. Dari dalam daya dukung alam terbatas, sementara orang Sunda semakin bertambah, dan, karena pembangunan yang serampangan, makin banyak pendatang.

Dari luar Sunda, bangsa yang tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah karena kerja keras, dengan kemajuan téknologi, ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya, mampu ngigelkeun jaman, mampu mengubah jaman, mampu mengubah budaya masyarakat dunia dan bahkan mengalahkan masyarakat yang kaya raya SDA-nya.

Tatkala ancaman itu benar-benar datang, orang Sunda, tak terkecuali pemerintahnya, menjadi terkaget-kaget, tidak tahu apa yang harus dibuat. Memang akhirnya tidak tinggal diam, tetapi tidak terkonsep. Penambahan daerah pemukiman, sarana dan prasarana pendukung, umpamanya, mengabaikan lingkungan.

Lebah parah lagi, untuk mendapatkan keperluan hidup yang semakin beragam dan perlu mengeluarkan uang yang banyak, karena orang Sunda sudah terbiasa mengandalkan alam, tak sedikit yang mengeksploitasi alam habis-habisan. Hutan ditebangi, pasir dikeruk semena-mena, bukit-bukit dipapas, tanahna dipakai untuk pengurugan lahan rendah.

Akibatnya sungguh mengkhawatirkan, hutan ruksak, bukit dan gunung banyak yang gundul. Bila musim hujan di mana-mana banjir. Tatar Sunda menjadi daerah yang paling sering tertimpa musibah longsor. Kemarau selalu kekurangan air, mata air dan sungai kering. Cur-cor caina hérang telah menjadi dongeng pengantar tidur anak-anak.

Belum lagi, karena orang Sunda seperti halnya masyarakat di negara-negara lain yang kaya SDA-nya, tidak suka bekerja keras, lamban berpikir dan bertindak, dalam berbagai bidang tertinggal: Politik, pendidikan, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan sebagainya. Orang Sunda pun terkena kutukan sumber daya alam.
*
BAGAIMANA caranya agar kutukan sumber daya alam tidak tambah mengerikan? Bagaimana caranya agar alam Tatar Sunda tetap menjadi berkah bagi manusia yang mengisinya? Salahsatu caranya adalah balik deui ka pamiangan, kembali lagi ke asal manusia Sunda yang dilahirkan di alam yang memberi segalanya tetapi harus dijaga kelestariannya.

Harus dijaga kelestariannya berarti dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, orang Sunda tidak boleh mengandalkan hasil eksploitasi alam. Alam harus diperlakukan sebaik-baiknya. Karena tantangan semakin berat, sifat orang Sunda pun perlu dirobah: Harus mau kerja keras, berpikir dan bertindak cepat, kalau tidak orang Sunda akan tergilas jaman.

Halaman:

Editor: Nanang Supriatna

Tags

Artikel Terkait

Terkini

10 Istilah Kripto yang Perlu Diketahui oleh Pemula.

Minggu, 6 Februari 2022 | 13:33 WIB

Minyak Goreng dan Psikologi Sembako Panic Buying

Senin, 24 Januari 2022 | 16:58 WIB

Rumah Sakit Jiwa pun Perlu Buku Bacaan

Senin, 24 Januari 2022 | 11:00 WIB

Street Food Pentol Aboy

Sabtu, 22 Januari 2022 | 06:00 WIB

Penjual Makanan di Sekolah Ngarenghap Lagi

Jumat, 21 Januari 2022 | 19:44 WIB

Rujak Cihérang, Mendunia Berkat Do’a Uyut Eumpeuk

Selasa, 7 Desember 2021 | 17:00 WIB

Terpopuler

X